Minggu, 30 Maret 2008

Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri

Oleh: Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.

Sebagian dari cara individu mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress atau pun konflik adalah dengan melakukan mekanisme pertahanan diri baik yang ia lakukan secara sadar atau pun tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat dikemukakan oleh Freud sebagai berikut : Such defense mechanisms are put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002)

Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri.

Istilah mekanisme bukan merupakan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit. Sebenarnya, kita akan membicarakan strategi yang dipelajari individu untuk meminimalkan kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulangi secara efektif. Tetapi karena “mekanisme pertahanan diri” masih merupakan istilah terapan yang paling umum maka istilah ini masih akan tetap digunakan.

Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.

Represi

Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:

  1. individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,
  2. berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,
  3. lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk,
  4. lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,
  5. lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.

Supresi

Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)

Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)

Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.

Fiksasi

Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.

Regresi

Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian

Menarik Diri

Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.

Mengelak

Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.

Denial (Menyangkal Kenyataan)

Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.

Fantasi

Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu

Rasionalisasi

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.

Intelektualisasi

Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.

Proyeksi

Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.

Sumber bacaan:
  1. Atkinson Rita L. dan Hilgard E.R. (1999). Pengantar Psikologi.
  2. Davidoff Linda L. (1991). Psikologi - Suatu Pengantar.
  3. Hall dan Linzey. (1995). Psikologi Kepribadian 1, Teori-teori Psikodinamis.
  4. Microsoft Encarta Encyclopedia 2002.

Menelusuri Kecemasan pada Remaja

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja, bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?

Period of storm and stress

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)

Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).

Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.

Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, “Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.

Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)

Empat model kognitif bagi kecemasan remaja

Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan. Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam Laugesen,2003) berikut;

“Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal thoughts related to possible threatening outcomes and their potential consequences.”

Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi) terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3) orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.

Pemahaman tiap variabel tersebut;

(1) intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan perilaku;

(2) sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi ketakutan dan kegelisahan;

(3) orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah, menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul;

(4) penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a) proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b) strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.

Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.

Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?

Siapa Anda? Siapa saya?

Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.

Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.

Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, misalnya “Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik.” Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, seperti, “Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras kepala,” biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari pandangan dirinya sendiri seperti “…padahal saya hanya mempertahankan pendapat saya saja.” Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan lingkungan terhadap diri, seperti “…memang saya merasa susah menerima perbedaan sih..” Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.

Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.

Budaya & Perkembangan Budaya

Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia, di mana individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?

Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept, self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di Indonesia.

_________________________

Referensi:

Baron, Robert A, & Byrne, Donn (2000) Social psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon.

Brown, Ulysses J. (2005) College students and AIDS awareness: the effects of condom perception and self-efficacy. College Student Journal, March 2005.

Laugesen, Nina (2003) Understanding adolescent worry: the application of a cognitive model. Journal of Abnormal Child Psychology, Feb.2003

Perkins, daniel F. (2000) Resiliency and trhiving in family and youth. Vol.1.No.1,March 2000

Rogers,Carl (2001) Gale encyclopedia of psychology, 2nd ed. Gale Group,2001.

Bagaimana menjadi Percaya Diri

Gabungan 3M

Dalam bahasa gaul harian, pede yang kita maksudkan adalah percaya diri. Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini. Ada orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum pede dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan bahwa yang terakhir itu normal dalam arti dialami oleh semua manusia.

Sebenarnya apa sih yang kita maksudkan dengan istilah pede itu? Kalau melihat ke literatur ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin menyebutkan empat saja:

§ Self-concept: bagaimana Anda menyimpulkan diri anda secara keseluruhan, bagaimana Anda melihat potret diri Anda secara keseluruhan, bagaimana Anda mengkonsepsikan diri anda secara keseluruhan.

§ Self-esteem: sejauh mana Anda punya perasaan positif terhadap diri Anda, sejauhmana Anda punya sesuatu yang Anda rasakan bernilai atau berharga dari diri Anda, sejauh mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam diri Anda

§ Self efficacy: sejauh mana Anda punya keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauhmana Anda meyakini kapasitas anda di bidang anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang disebut dengan specific self-efficacy.

§ Self-confidence: sejauhmana Anda punya keyakinan terhadap penilaian Anda atas kemampuan Anda dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Self confidence itu adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy (James Neill, 2005)

Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan-diri itu adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai berikut :

§ Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh

§ Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)

§ Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan

§ Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah

§ Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)

§ Canggung dalam menghadapi orang

§ Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan

§ Sering memiliki harapan yang tidak realistis

§ Terlalu perfeksionis

§ Terlalu sensitif (perasa)

Sebaliknya, orang yang kepercayaan diri bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, punya keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang punya kepercayaan diri bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungannya.

Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang paling mendasar dalam praktek hidup kita. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: “Apa yang Anda butuhkan untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri. “

Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Ini seperti yang diakui Mohammad Ali. “Satu-satunya yang membuat orang lari dari tantangan adalah lemahnya kepercayaan diri.”

Kesimpulan Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy yang bagus punya kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.

Tak hanya Bandura yang kesimpulan semacam itu. Pakar pendidikan juga punya kesimpulan yang bernada sama. Self-efficacy yang bagus akan menjadi penentu keberhasilan seseorang (pelajar) dalam menjalankan tugas. Mereka lebih punya kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan yang kuat untuk bekerja giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, The Development of Achievement Motivation, San Diego: Academic Press, 2002.).

Sisi-sisi Negatif

Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya terkait dengan dua hal yang sudah kita bahas di muka. Hanya memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak. Di antara sisi negatif itu adalah:

§ Arogansi. Kita merendahkan orang lain (looking down atau humiliate) karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Arogansi seperti ini ditolak oleh semua tatanan nilai di dunia ini. Sah-sah saja kita merasa lebih dari orang lain tetapi yang paling penting di sini adalah jangan sampai kita memandang rendah orang lain, apalagi menghina baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

§ Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain. Terkadang memang ada alasan untuk merasa benar tetapi yang perlu kita waspadai adalah munculnya perasaan paling benar yang membuat kita menyimpulkan orang lain semua salah. Biarpun kita benar tetapi kalau kita merasa semua orang lain salah, ini bisa membuat kita salah.

§ Menolak opini orang lain / tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, saran orang lain, tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tetapi juga tidak semuanya perlu ditolak. Ada hal-hal positif yang bisa kita ambil dari opini orang lain. Konon, salah satu faktor yang membuat para pengusaha ambruk setelah mengalami kejayaan adalah karena menolak mendengarkan opini orang lain, menolak belajar dari orang lain, bersikap fleksibel terhadap perubahan. Mereka menjadi orang yang tertutup oleh pengalaman kejayaannya selama ini.

§ Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang “sincere”, di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang lain akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi yang empatik, asertif atau persuasif.

§ Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan dalam mengatasi masalah atau berpikir “beyond the technique” itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu membahayakan.

§ Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Tidak mudah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas kemampuannya sebelum ada bukti-bukti yang nyata, memang ini dibutuhkan. Ada kalanya kita tidak bisa 100% mempercayai orang lain. Tetapi akan jadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu ingin menjadi “polisi” atas orang lain dan semisalnya, ini bisa menyusahkan diri sendiri.

§ Punya penilaian-diri yang “over”, mematok imbalan yang terlalu tinggi, menuntut diperlakukan secara terlalu idealis. Sah-sah saja kita punya penilaian diri yang setinggi langit sekali pun, mematok “harga” setinggi-tingginya, namun jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel. Jangan sampai kita patah gara-gara kita terlalu keras. Jangan sampai pula kita tidak bisa membedakan antara tahu diri dan tidak tahu diri dalam praktek. Bedanya sangat tipis.

Sisi-sisi negatif yang saya sebutkan di atas mungkin bisa kita sebut dengan istilah “terlalu pede”. Ini juga berbeda dengan pede. Menurut kaidah yang berlaku dalam praktek hidup, sesuatu yang sudah terlalu, itu biasanya jelek dan dipandang jelek.

Membangun Kepercayaan diri

Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

1. Menciptakan definisi diri positif.

Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:

o Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.

o Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki

o Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.

Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

2. Memperjuangkan keinginan yang positif

Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

3. Mengatasi masalah secara positif

Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

4. Memiliki dasar keputusan yang positif.

Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

5. Memiliki model / teladan yang positif

Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.


Kepemimpinan Remaja Masjid

KEPEMIMPINAN REMAJA MASJID
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

(QS 3:104, Ali ‘Imran)


Kepemimpinan (leadership) telah lama dikenal dan diselenggarakan umat manusia, karena sebagai mahluk sosial mereka hidup berinteraksi satu dengan yang lain dan membentuk komunitas, baik dalam lingkup besar maupun kecil. Kepemimpinan sangat diperlukan dalam setiap kelompok, terutama untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta dalam memanfaatkan seluruh sumber daya secara optimal.

Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin (leader) berarti orang yang memimpin massa atau kelompok. Dalam masyarakat primitif, pemimpin ditentukan oleh kekuatan, siapa kuat dialah yang menang dan memimpin. Dalam masyarakat feodal, pemimpin ditentukan oleh keturunan, kekayaan dan kedekatan dengan penguasa. Dalam masyarakat tradisional, pemimpin erat kaitannya dengan hubungan antara patron-client, sehingga kharisma menjadi garansi. Sementara itu, dalam masyarakat modern pemimpin telah terdiferensiasi dalam berbagai bentuknya, ada pemimpin formal, non-formal, kantor, organisasi, Masjid, perusahaan, sekolah dan lain sebagainya. Dalam realitanya, kita masih dapat menjumpai bentuk-bentuk kepemimpinan tersebut di era milenium ke-3 ini.


PENGERTIAN

Kepemimpinan adalah merupakan aktivitas dan proses memimpin, mengatur, mengelola, merekayasa dan mengkoordinasikan seluruh potensi sumber daya untuk mencapai tujuan. Orang yang melaksanakannya disebut dengan pemimpin (leader). Meskipun figur pemimpin sangat berpengaruh, namun bagi organisasi yang progressif harus mengembangkan leadership berdasarkan prinsip-prinsip, sistim dan mekanisme yang jelas.

Dalam tinjauan perjuangan, kepemimpinan dapat diartikan sebagai upaya untuk menghimpun, menyusun, membina, mengarahkan dan memimpin sumber daya dan kekuatan dalam perjuangan mencapai tujuan. Karena itu kesuksesan pemimpin dapat diukur dari kemampuannya mencapai tujuan.


PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MENCAPAI TUJUAN

Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa seorang pemimpin dituntut untuk membawa kelompoknya mencapai tujuan yang telah disepakati atau ditetapkan bersama. Kemampuan mencapai tujuan atau melaksanakan amanah menjadi tolak-ukur terpenting untuk mengukur keberhasilannya dalam memimpin.

Memimpin berkaitan erat dengan perjuangan, yaitu berjuang untuk mencapai tujuan dengan melibatkan orang-orang. Tujuan akan dicapai melalui sejumlah tahapan perjuangan dan setiap tahap memiliki sasaran (target / tujuan antara) masing-masing. Yang penting di sini adalah menjaga moril perjuangan kelompok, agar tetap tinggi semangatnya dalam mencapai tujuan.

Peran kepemimpinan dalam mencapai tujuan organisasi Remaja Masjid sangat besar. Kepemimpinan Pengurus Remaja Masjid yang efektif dan mampu memanfaatkan sumber daya yang terbatas, insya Allah, akan membawa organisasi mencapai tujuannya tahap demi tahap. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kemajuan (progress) dalam penyelenggaraan aktivitas dari waktu ke waktu.


UNSUR UNSUR KEPEMIMPINAN

Keberhasilan kepemimpinan dalam organisasi Remaja Masjid sangat dipengaruhi oleh berbagai unsur pendukungnya, di antaranya adalah:


Pemimpin.
Sebagai pemain utama dalam organisasi, pemimpin sangat berpengaruh dalam sistim kepemimpinan. Adanya Pengurus yang sehat jasmani-ruhani, cakap dalam mengelola, berwawasan luas dan memiliki integritas yang tinggi menjadikan kepemimpinan Remaja Masjid capable dalam mencapai tujuannya.

Tujuan.
Sesuatu yang ingin dicapai dan menjadi cita-cita organisasi sekaligus merupakan ideologi para fungsionaris dan anggota. Tujuan Remaja Masjid harus dirumuskan dalam Anggaran Dasar, kemudian ditafsirkan dan disosialisasikan. Tujuan dicapai secara bertahap dan dalam setiap tahapan ada tujuan antara (target / sasaran).

Sistim organisasi.
Berupa konstitusi organisasi yang dituangkan dalam pedoman-pedoman dasar organisasi Remaja Masjid maupun petunjuk-petunjuk pelaksanaannya, termasuk di dalamnya aturan-aturan konvensional yang berlaku dalam internal organisasi. Untuk organisasi Remaja Masjid yang mapan, sistim organisasi telah berjalan secara rutin bagaikan mekanis.

Stratak.
Yaitu strategi dan taktik yang disusun untuk mencapai tujuan organisasi Remaja Masjid. Merupakan garis perjuangan organisasi dengan menentukan sasaran-sasaran antara yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Diharapkan stratak yang disusun dapat realistis namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip perjuangan.

Ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis.
Yaitu ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis yang diperlukan dalam mendukung kepemimpinan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam kehidupan organisasi Remaja Masjid sehari-hari. Peningkatan wawasan keilmuan dan keterampilan dilakukan melalui kajian-kajian dan pelatihan-pelatihan yang terstruktur.

Sumber daya.
Sumber daya organisasi Remaja Masjid sangat besar pengaruhnya dalam kepemimpinan, terutama sumber daya manusia (SDM). Diperlukan sumber daya remaja muslim yang dapat diandalkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sumber daya muslim organisasi Remaja Masjid terdiri dari kader, aktivis, simpatisan dan partisipan. Sumber daya lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam kepemimpinan adalah dana dan kekayaan organisasi. Sumber dana dan kekayaan organisasi yang mencukupi, akan memberi dukungan yang berarti dalam penyelenggaraan aktivitas kepemimpinan.


KETERAMPILAN PEMIMPIN

Sebagaimana dalam management, bagi seorang pemimpin perlu memiliki secara proposional keterampilan yang meliputi:

Technical skill.
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan teknis yang berhubungan erat dengan bidang kerjanya, diantaranya adalah: merencanakan kegiatan, menyusun anggaran, berkomunikasi, administrasi, negosiasi, belajar dan mengajar, mengambil keputusan dan lain sebagainya.

Human skill.
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan manusia, di antaranya adalah: kemampuan mengenal dirinya sendiri, kemampuan psikologi massa, bekerja dalam kelompok, memimpin kelompok, public relation dan lain sebagainya

Conceptional skill.
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menyusun konsep yang berkaitan dengan organisasi dan perjuangan secara luas.


TAULADAN KEPEMIMPINAN RASULULLAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tauladan yang baik bagi kita dalam berbagai urusan, termasuk dalam kepemimpinan. Beberapa hal yang dapat kita tauladani dalam kepemimpinan beliau adalah antara lain:

Memiliki integritas pribadi yang benar sebagai seorang pemimpin, baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. Kepemimpinannya penuh nuansa religius.

Memiliki tujuan yang jelas, yaitu tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Bermula dari Makkah, lalu Madinah dan selanjutnya daerah-daerah yang lain.

Memiliki sistim organisasi yang kokoh. Berorientasi pada kebenaran dari Allah subhanahu wa ta’ala dan diimplementasikan dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Membentuk Masyarakat Islam dengan menerapkan syari’at. Pelaksanaan hududullah, qishash dan ta’zir diselenggarakan secara adil.


Mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis.

Mendorong aktivitas menuntut ilmu, baca tulis, mempelajari berbagai keterampilan dan lain sebagainya.

Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya, diantaranya dengan melakukan da’wah islamiyah dan tarbiyah kepada umat manusia ke berbagai penjuru tempat serta menumbuhsuburkan zakat, shadaqah dan infaq.

Sebagai seorang pemimpin yang sukses beliau memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah:

Menyampaikan amanah dengan benar.

Menjadi tauladan yang baik (uswatun hasanah).

Istiqamah dalam prinsip dan tasamuh dalam hal-hal non-prinsip.

Sangat mementingkan umat.

Bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Berjuang, berdo’a dan tidak putus asa.

Ikhtiyar, sabar dan tawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Dan lain sebagainya.

Pembinaan Remaja

Pembinaan Remaja Melalui Masjid

Sebagaimana telah difahami, bahwa dalam perkembangannya manusia akan melewati masa remaja. Remaja adalah anak manusia yang sedang tumbuh selepas masa anak-anak menjelang dewasa. Dalam masa ini tubuhnya berkembang sedemikian pesat dan terjadi perubahan-perubahan dalam wujud fisik dan psikis. Badannya tumbuh berkembang menunjukkan tanda-tanda orang dewasa, perilaku sosialnya berubah semakin menyadari keberadaan dirinya, ingin diakui, dan berkembang pemikiran maupun wawasannya secara lebih luas. Mungkin kalau kita perkirakan umur remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 25 tahun. Pembatasan umur ini tidak mutlak, dan masih bisa diperdebatkan.

Masa remaja adalah saat-saat pembentukan pribadi, dimana lingkungan sangat berperan. Kalau kita perhatikan ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi remaja:


1. Lingkungan keluarga.

Keluarga sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan remaja. Kasih sayang orang tua dan anggota keluarga yang lain akan memberi dampak dalam kehidupan mereka. Demikian pula cara mendidik dan contoh tauladan dalam keluarga -khususnya orang tua- akan sangat memberi bekasan yang luar biasa. Dalam keluarga yang bahagia dan sejahtera serta memiliki tauladan keislaman yang baik dari orang tua, insya Allah, remaja akan tumbuh dengan rasa aman, berakhlak mulia, sopan-santun dan taat melaksanakan ajaran agamanya. Sebaliknya, dalam keluarga yang kurang harmonis, keteladanan orang tua tidak ada dan kering dari kehidupan yang islami, maka anak remaja akan semakin mudah untuk tumbuh menyimpang.

Selain pendidikan agama, remaja juga memerlukan komunikasi yang baik dengan orang tua, karena ia ingin dihargai, didengar dan diperhatikan keluhan-keluhannya. Dalam masalah ini, diperlukan orang tua yang dapat bersikap tegas, namun akrab (friendly). Mereka harus bisa bersikap sebagai orang tua, guru dan sekaligus kawan. Dalam mendidik anak dilakukan dengan cara yang masuk akal (logis), mampu menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, melakukan pendekatan persuasif dan memberikan perhatian yang cukup. Semua itu tidak lain, karena remaja sekarang semakin kritis dan wawasannya berkembang lebih cepat akibat arus informasi dan globalisasi.


2. Lingkungan sekolah.

Sekolah adalah rumah kedua, tempat remaja memperoleh pendidikan formal, dididik dan diasuh oleh para guru. Dalam lingkungan inilah remaja belajar dan berlatih untuk meningkatkan kemampuan daya pikirnya. Bagi remaja yang sudah menginjak perguruan tinggi, nampak sekali perubahan perkembangan intelektualitasnya. Tidak hanya sekedar menerima dari para pengajar, tetapi mereka juga berfikir kritis atas pelajaran yang diterima dan mampu beradu argumen dengan pengajarnya.

Dalam lingkungan sekolah guru memegang peranan yang penting, sebab guru bagaikan pengganti orang tua. Karena itu diperlukan guru yang arif bijaksana, mau membimbing dan mendorong anak didik untuk aktiv dan maju, memahami perkembangan remaja serta seorang yang dapat dijadikan tauladan. Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa: “Guru menempati tempat istimewa di dalam kehidupan sebagian besar remaja. Guru adalah orang dewasa yang berhubungan erat dengan remaja. Dalam pandangan remaja, guru merupakan cerminan dari alam luar. Remaja percaya bahwa guru merupakan gambaran sosial yang diharapkan akan sampai kepadanya, dan mereka mengambil guru sebagai contoh dari masyarakat secara keseluruhan. Dan remaja menyangka bahwa semua orang tua, kecuali orang tua mereka, berfikir seperti berfikirnya guru-guru mereka “. 1)


3. Lingkungan teman pergaulan.

Teman sebaya adalah sangat penting sekali pengaruhnya bagi remaja, baik itu teman sekolah, organisasi maupun teman bermain. Dalam kaitannya dengan pengaruh kelompok sebaya, Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan: “Kelompok sebaya (peer groups) mempunyai peranan penting dalam penyesuaian diri remaja, dan bagi persiapan diri di masa mendatang. Serta berpengaruh pula terhadap pandangan dan perilakunya. Sebabnya adalah, karena remaja pada umur ini sedang berusaha untuk bebas dari keluarga dan tidak tergantung kepada orang tua. Akan tetapi pada waktu yang sama ia takut kehilangan rasa nyaman yang telah diperolehnya selama masa kanak-kanaknya”. 2)

Karena itu, dalam menghadapi faktor lingkungan teman pergaulan, remaja harus diarahkan dan dibina. Keberadaan wadah-wadah pembinaan remaja -misalnya: Remaja Masjid- semakin mendesak untuk dihadirkan. Remaja Masjid di harapkan mampu memberi lingkungan pergaulan yang islami bagi remaja-remaja muslim. Mereka bergaul, bermain, berorganisasi dan mengembangkan kreativitas dan kepribadiannya dalam nuansa-nuansa Islam. Mereka secara langsung maupun tidak langsung sudah terkader untuk menda’wahkan Islam, sehingga menjadi generasi muda muslim yang siap menerima amanah dalam mensyi’arkan Islam.


4. Lingkungan dunia luar.

Merupakan lingkungan remaja selain keluarga, sekolah dan teman pergaulan, baik lingkungan masyarakat lokal, nasional maupun global. Lingkungan dunia luar akan memperngaruhi remaja, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik itu benar maupun salah, baik itu islami maupun tidak. Lingkungan dunia luar semakin besar pengaruhnya disebabkan oleh faktor-faktor kemajuan teknologi, transportasi, informasi maupun globalisasi.

Saat ini, virus “American dream”, yaitu kecenderungan sebagian warga Amerika untuk hidup terkenal (populer), sedang mewabah dunia. Mereka melakukan segala cara. Yang punya kelebihan, dia manfaatkan kelebihannya, sedang yang tidak punya kelebihan, pokoknya asal “tampil beda”, agar diekspos oleh mass media, sehingga mereka menjadi terkenal. Akibatnya, dunia dilanda budaya riya’ atau pamer, yaitu budaya ingin dipuji, dikagumi dan dianggap top oleh orang lain; budaya menonjolkan diri dengan cara apapun. Sehingga banyak kita jumpai orang-orang yang berperilaku aneh-aneh, berusaha agar menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh, misalnya di kalangan remaja yang sudah terjangkiti, kita jumpai remaja yang berdandan model punk, yang tidak lain merupakan cerminan dari sikap riya’ itu tadi. Celakanya, sikap-sikap yang demikian itu mudah sekali untuk ditiru oleh remaja.

Namun, perkembangan global akhir abad dua puluh ini juga membawa angin perubahan positip. Masyarakat dunia semakin peduli terhadap kehidupan yang religius, terutama di lingkungan umat Islam. Semenjak dicanangkannya abad ke-15 Hijriyyah sebagai abad kebangkitan Islam, proses islamisasi semakin menampakkan hasilnya. Fenomena kebangkitan Islam dapat kita lihat dimana-mana, seperti misalnya: maraknya upaya untuk memakmurkan Masjid, penggunaan jilbab di kalangan muslimat, pertumbuhan bank Islam, peningkatan kuantitas umat Islam di Eropa dan Amerika yang cukup cepat, konferensi-konferensi keislaman dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja cukup menggembirakan dalam kaitannya dengan upaya menghadirkan lingkungan yang lebih islami bagi remaja.

Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri, sehingga kita jumpai remaja berusaha menonjolkan identitas pribadi atau kelompoknya. Peniruan terhadap figur-figur tertentu dan menemukan tokoh-tokoh idola yang digandrungi, seperti guru, ulama, pahlawan, bintang film atau penyanyi dan lain sebagainya, merupakan salah satu bentuk pencarian itu. Dalam beberapa kejadian, dapat kita temukan penyimpangan dari upaya pernyataan identitas diri, dimana kita temukan adanya kelompok remaja yang membentuk kelompok (gang) dengan menonjolkan aktivitas penggunaan narkotika, minuman keras, kebut-kebutan, perkelahian pelajar bahkan free seks, naudzubillaahi mindzalik.

Dalam menemukan identitas diri, remaja banyak mendapat informasi, baik dari media cetak, dengar maupun audio visual, seperti: koran, majalah, radio, televisi, Bioskop, VCD, DVD dan internet. Berkaitan dengan televisi, sampai saat ini televisi masih dituduh sebagai salah satu penyebab perilaku menyimpang remaja. Hal ini dikarenakan banyak tayangan televisi yang mendorong perilaku menyimpang remaja, khususnya TV swasta, banyak yang tidak lagi mengindahkan moral dan etika religius. Jurnal FOKUS edisi no. 70, th. 1996 menyebutkan: “Mengikuti arus deras Hollywood, film-film yang diputar TV swasta adalah film-film yang sepenuhnya selera Amerika. Celakanya lagi belakangan terdapat sejumlah opera sabun. Selain menampilkan (paling tidak mengesankan) adegan kumpul kebo, film-film demikian tidak memiliki tokoh-tokoh berbudi baik yang dapat ditiru. Artinya, tidak ada yang bisa dipelajari -apalagi dicontoh- oleh anak-anak dari opera-opera sabun tersebut. Contoh film yang demikian adalah Melrose Place dan Beverly Hills”.

Tayangan negatif bukan hanya berasal dari Hollywood saja. Tayangan-tayangan dari Ballywood (India), Amerika Latin, Hong Kong dan produksi lokal juga banyak yang tidak kalah negatifnya. Bahkan di era reformasi ini -setelah kejatuhan orde baru-, dunia pertelevisian Indonesia marak dengan dengan tayangan-tayangan berbau pornografi yang melecehkan wanita, gosip yang menyebarkan ghibah dan fitnah maupun mistik yang mengarah pada kemusyrikan. Juga tidak kalah berbahayanya, adalah maraknya penjualan VCD porno di pasaran gelap, bahkan ada yang terang-terangan. Semuanya itu, menunjukkan perlunya Indonesia memiliki Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Sekarang ini, dunia maya (internet) telah menjadi lingkungan luar tersendiri bagi umat manusia, tak terkecuali bagi remaja. Melalui internet, banyak hal positif dan negatif dapat mempengaruhi remaja. Berbagai situs website dimunculkan, bermacam informasi dihadirkan, berbagai kemudahan ditawarkan dan berbagai pengaruh aneka warna pergaulan, bangsa, ide, komunitas dan lain sebagainya dapat merambah kehidupan remaja. Masuk melalui layar komputer, mempengaruhi kehidupan mereka dan muncul dalam aneka perilaku.

Sebenarnya, lingkungan yang dibutuhkan oleh remaja adalah lingkungan yang islami, baik itu lingkungan keluarga, sekolah, teman pergaulan maupun dunia luar. Lingkungan yang mendukung perkembangan imaji mereka secara positif dan menuntun mereka pada kepribadian yang benar. Lingkungan yang islami akan memberi kemudahan dalam pembinaan remaja. Pembinaan remaja dalam Islam bertujuan agar remaja tersebut menjadi anak yang shalih; yaitu anak yang baik, beriman, berilmu, berketerampilan dan berakhlak mulia. Anak yang shalih adalah dambaan setiap orangtua muslim yang taat. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila anak Adam mati, maka semua amalnya terputus, kecuali tiga: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim). 3)

Untuk membina remaja bisa dilakukan dengan berbagai cara dan sarana, salah satunya melalui Remaja Masjid. Yaitu suatu organisasi atau wadah perkumpulan remaja muslim yang menggunakan Masjid sebagai pusat aktivitas. Remaja Masjid merupakan salah satu alternatif pembinaan remaja yang terbaik. Melalui organisasi ini, mereka memperoleh lingkungan yang islami serta dapat mengembangkan kreatitivitas.

Remaja Masjid merupakan bentuk aktivitas yang sedang tumbuh dan berkembang, namun kehadirannya tidaklah muncul begitu saja. Berawal dari usaha-usaha menyelenggarakan kegiatan kemasjidan, lalu timbul kesadaran perlunya organisasi yang permanen, dan akhirnya dibentuklah Remaja Masjid. Saat ini, Remaja Masjid telah menjadi salah satu wadah favorit kegiatan remaja muslim. Umumnya di kota-kota besar dapat dijumpai. Meskipun masih ada hambatan atas keberadaannya, namun secara umum masyarakat sudah semakin lebih bisa menerima kehadirannya.

Remaja Masjid telah menjadi fenomena bagi kegairahan para remaja muslim dalam mengkaji dan menda'wahkan Islam di Indonesia. Sebenarnya, da’wah Islam yang dilakukan generasi muda bukanlah hal yang baru, Allah subhanhu wa ta’ala memberitahukan perjuangan mereka dalam Al Quraan.

“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".” (QS 18:13-14, Al Kahfi)

Remaja Masjid membina para anggotanya agar beriman, berilmu dan beramal shalih dalam rangka mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mencapai keridlaan-Nya. Pembinaan dilakukan dengan menyusun aneka program yang selanjunya ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas. Remaja Masjid yang telah mapan biasanya mampu bekerja secara terstruktur dan terencana. Mereka menyusun Program Kerja periodik dan melakukan berbagai aktivitas yang berorientasi pada:

1. Keislaman.
Meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan pemahaman tentang Islam secara lebih luas dan mendalam. Diikuti dengan aktivitas da’wah islamiyyah, yang dilakukan secara sistematis dan dapat diterima anggota dan masyarakat pada umumnya.

2. Kemasjidan.
Menjadikan Masjid sebagai pusat aktivitas sebagai bentuk implementasi dari reaktualisasi fungsi dan peran Masjid dalam kehidupan masyarakat Islam.

3. Keremajaan.
Menjadikan remaja muslim sebagai menjadi subyek organisasi dan sekaligus menjadi obyek da’wah.

4. Keterampilan.
Belajar, berlatih dan mempraktekan keterampilan, baik keterampilan teknis, kemanusiaan maupun konsepsional.

5. Keilmuan.
Memperdalam ilmu pengetahuan secara luas, baik yang berkaitan dengan Islam secara langsung maupun ilmu-ilmu umum, seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya, seni, teknologi dan lain sebagainya.

Mereka juga melakukan pembidangan kerja berdasarkan kebutuhan organisasi, agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Beberapa bidang kerja dibentuk untuk mewadahi fungsi-fungsi organisasi yang disesuaikan dengan Program Kerja dan aktivitas yang akan diselenggarakan, di antaranya:

1. Administrasi dan Kesekretariatan.
Bidang ini mengelola administrasi organisasi dan sarana pendukungnya. Kegiatan surat menyurat, kesekretariatan, perencanaan pertemuan, regristerasi, inventarisasi, dokumentasi dan lain sebagainya merupakan aktivitas rutin yang dilakukan.

2. Keuangan.
Bidang ini mengelola seluruh keuangan organisasi, baik dalam penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pengeluaran maupun distribusinya.

3. Pembinaan Anggota.
Bidang ini memiliki tugas utama untuk membina anggota agar memiliki aqidah yang kuat, ibadah benar, pemahaman Islam yang baik, berilmu, berketerampilan dan aktiv memakmurkan Masjid. Beberapa aktivitas yang dilakukan, misalnya: pengajian remaja, shalat berjama’ah, mentoring, pesantren kilat dan keterampilan berorganisasi.

4. Perpustakaan dan Informasi.
Bidang ini mengelola perpustakaan dan menyebarkan informasi khususnya kepada anggota, di antaranya melalui Majalah Dinding dan Buletin Da’wah.

5. Kesejahteraan Umat.
Bidang ini disamping beraktivitas untuk intern organisasi juga untuk kepentingan masyarakat sekitar Masjid. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain adalah membantu Pengurus Masjid dalam menyelenggarakan Shalat Jum’at, Ramadhan, Idul Fithry, Idul Adha, bakti sosial dan lain sebagainya.

6. Kewanitaan.
Bidang ini khusus menangani dan membina anggota wanita. Aktivitas dijalankan dengan menyelenggarakan: pengajian keputrian, ketrampilan wanita, pelatihan khusus wanita, diskusi, seminar, lokakarya dan lain sebagainya.

Pada masa sekarang, keberadaan Remaja Masjid semakin terasa diperlukan, terutama untuk mengorganisir kegiatan da'wah yang dilakukan oleh para remaja muslim yang memiliki keterikatan dengan Masjid. Dengan adanya Remaja Masjid, insya Allah, kreativitas remaja muslim dapat disalurkan dan dikembangkan. Selain itu, terjadinya kenakalan remaja juga dapat dikurangi. Remaja Masjid yang terorganisir dengan baik, bukan saja akan memberikan kesempatan bagi anggotanya untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya, namun juga akan memberi bekal yang baik bagi masa depan mereka, terutama bekal taqwa. Sehingga, hadirnya generasi muslim yang terbaik, yang beriman, berilmu pengetahuan, beramal shalih dan mampu ber’amar ma’ruf nahi munkar, insya Allah, dapat menjadi kenyataan.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS 3:110, Ali ‘Imran)

Hati hati dengan proses pembaratan
Oleh: DR. SIDEK BABA
Islam tidak mengambil pendirian anti Barat atau pun Timur. Islam adalah agama dakwah yang mendukung nilai-nilai alamiah. Islam adalah agama rahmah untuk seluruh alam. Pengaruh Islam berada di Barat dan di Timur.
Penganut Islam merupakan penganut agama yang kedua terbesar di kebanyakan negara-negara Barat. Mengambil pendekatan anti Barat bermakna membataskan skop dakwah untuk membawa manusia kembali ke fitrah.
Di Perancis umpamanya terdapat empat cendekiawan terbilang seperti Roger Garaudy, pemikir intelektual Marxis, Maurice Bucaille, seorang pakar ilmu bedah, Jacquis Cocteu, ahli oseanografi dan Bruno Guiderdoni, pakar astrofizik terkemuka kembali kepada fitrah. Islam menjadi lebih menarik di Barat kerana ia didekati secara ilmu dan saintifik dan ia memberi tanda untuk suatu kebangkitan.
Memang benar pada hari ini Barat maju dalam sains dan teknologi. Kemajuan Barat menjadi sumber rujukan utama bagi masyarakat lain yang ingin maju dalam bidang yang sama. Kurikulum dan kaedah pengajaran dan pembelajaran sepenuhnya mengambil orientasi Barat.
Tidak salah mengambil aspek-aspek berbanding yang boleh memberi menafaat kepada kemajuan kita. Tetapi negara-negara Barat mempunyai orientasinya sendiri bertunjangkan falsafah yang jauh lebih terbuka dan tidak terikat dengan nilai-nilai agama.
Tradisi sains dalam Islam mengambil kira faktor agama. Walaupun al-Quran bukan kitab saintifik, tetapi pedoman-pedoman saintifik di dalamnya memandu tradisi keilmuan berkembang dengan mengambil kira faktor keinsanan, sains dan teknologi supaya manusia menjadi lebih manusiawi.
Para remaja Islam harus insaf bahawa ilmu itu terdapat di mana-mana, sama ada di Barat mahupun di Timur. Oleh itu adalah suatu langkah yang bijak untuk menghantar generasi muda di kalangan yang terbaik untuk menimba ilmu pengetahuan di Eropah, Amerika Syarikat, Russia, Jepun dan China supaya ilmu yang terkini di kalangan mereka dapat diambil dan dibawa kembali ke negara kita.
Usaha seperti ini penting supaya remaja Islam tidak ketinggalan mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu terkini yang bermanfaat untuk umat Islam dan juga untuk umat manusia.
Tetapi remaja Islam harus mempunyai persiapan yang baik sebelum dan selepas menguasai ilmu-ilmu dari Barat dan Timur. Pertama fahami dulu falsafah dan tasawwur ilmu dalam tradisi Islam.
Umat Islam pernah melahirkan tamadun yang berasaskan sains, matematik, perubatan, astrofizik pada suatu ketika dulu. Para remaja tentu maklum bahawa Barat amat terhutang ilmu kepada Islam.
Para saintis Islam melakukan penerokaan saintifik yang luar biasa mendahulu orang-orang Barat dalam banyak lapangan. Ini bermakna tradisi sains Islam pernah wujud dan menjadi sumber rujukan Barat dan Timur. Ia diajar di universiti-universiti utama di Eropah untuk berabad-abad.
Memahami falsafah sains Islam adalah amat penting supaya dalam mempelajari ilmu-ilmu Barat, para remaja tidak lupa dengan sejarah dan tamadun sendiri. Menghargai tamadun sendiri menjadikan kita yakin bahawa tradisi sains Islam sentiasa menghubungkan dirinya dengan nilai dan agama.
Mengkaji fenomena yang terjadi dan faktor-faktor alamiah yang terdapat menghubungkannya sebagai ciptaan Allah. Apabila remaja meneliti dan mengkajinya secara Qurani dapat mengukuhkan lagi keimanan dan keyakinan remaja terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah.
Kedua, para remaja harus melakukan kajian berbanding terhadap falsafah tamadun Barat dan juga falsafah tamadun Islam. Di Barat, orientasi keilmuan banyak menumpu untuk mengukuhkan faham sekular dan liberal dan sifatnya bebas nilai.
Pendekatan dalam pembangunan dan perubahan banyak memberikan tumpuan kepada asas-asas yang mekanistik dan menjadikan keupayaan teknologi dan sains sebagai segala-gala. Dalam amalan ekonomi, faham konsumerisme menjadi matlamat.
Dalam media cetak dan elektronik elemen-elemen hedonistik atau berpoya-poya sentiasa menjadi tema dalam penerbitan dan penyiaran.
Globalisasi yang sedang menyemarak pengaruhnya terhadap dunia hari ini bakal memberi kesan terhadap pola-pola kehidupan remaja. Faedah berbanding dari faktor globalisasi perlu diambil.
Dalam masa yang sama para remaja harus mempunyai daya saring yang tinggi membezakan yang bermanfaat atau sebaliknya. Tanpa asas ini globalisasi boleh menjadikan proses pembaratan terhadap umat Islam berlaku secara sistematik.
Ketiga, para remaja yang berpeluang belajar di Barat dan di Timur harus mempelajari aspek-aspek positif dalam sikap dan mentaliti mereka. Kerajinan mereka melakukan penyelidikan, menghasilkan karya-karya dan tulisan yang ilmiah, kesungguhan dalam pengurusan dan kreatif dalam penghasilan kerja seharusnya menjadi sumber teladan dan ikutan.
Ramai remaja kita yang berkesempatan belajar di Barat mengambil aspek-aspek negatif dalam kehidupan, kebudayaan dan gaya hidup Barat sehingga ada yang tercabut akar Islamnya dan menjalani hidup lepas bebas tanpa pegangan agama dan nilai-nilai murni.
Keempat, harus ada tekad dan azam di kalangan remaja Islam untuk menyesuaikan keunggulan ilmu dan teknologi yang diterima ke arah binaan acuan sendiri. Acuan sendiri mengambil kira faktor nilai dan falsafah supaya arah tuju pembinaan dan penyuburan ilmu dalam masyarakat Islam tidak mengenepikan faktor-faktor akidah, akhlak, ibadah dan syariah dalam erti kata yang luas.
Pembinaan ilmu yang integratif dalam tradisi Islam diibaratkan sebagai sebatang pokok. Akarnya diibaratkan akidah. Ilmu tanpa asas akidah akan berdiri atas asas faham sekular, rasionalisme, saintisme, liberalisme dan pragmatisme Barat menolak faktor ghaibiyyah sebagai landasan ilmu. Ilmu tanpa akidah akan kehilangan tapak untuknya berdiri.
Batang bagi pokok diibaratkan sebagai ibadah dalam maksud yang luas. Sembahyang umpamanya sering dikaitkan sebagai tiang agama. Akar tanpa batang tidak membolehkan pokok tegak dan berdiri.
Kekuatan batang menyebabkan tumbuhnya dahan. Dahan adalah cabang-cabang atau disiplin ilmu yang berbagai. Ilmu yang berkembang atas akidah dan ibadah berdiri atas nilai.
Mempelajari sains dan matematik yang terpancar dari akidah dan ibadah mendekatkan remaja dengan Allah. Inilah asas-asas syariah yang menyebabkan ilmu berkembang dalam batasan-batasan yang diredai-Nya.
Puncak dari tegaknya sebatang pokok ialah buah. Buah adalah gambaran akhlak yang ada pada remaja. Ilmu yang berupaya menampilkan akhlak remaja yang baik adalah ilmu dari dahan, batang dan akar yang mengakui kebesaran dan kekuasaan alam terhadap apa yang dicipta-Nya.
Asas ini sangat penting bagi remaja supaya ilmu tidak hanya dipelajari sekadar ilmu tetapi ilmu harus memberi guna kepada remaja supaya dengan menjadi ahli ilmu nantinya remaja akan dapat meningkatkan iman dan amal secara Islami.
Oleh itu, para remaja harus hati-hati dengan proses globalisasi dan pembaratan yang sedang berlangsung. Perancang-perancang globalisasi sudah tentu mempunyai agenda tersendiri mengenai manusia, perubahan, kemajuan dan pemodenan.
Tetapi remaja Islam harus lebih bijaksana untuk menerima sesuatu dari Barat secara melulu sebaliknya dengan kekuatan kefahaman mengenai tasawwur, sejarah dan tamadun Islam, remaja Islam akan terus terpandu untuk memanfaatkan faedah berbanding yang terbaik dari Barat dan Timur dan mengungkapnya kembali dalam acuan sendiri secara bijaksana supaya manfaatnya tidak saja menyumbang kepada pembangunan diri tetapi juga kepada negara, umat dan manusia seluruhnya.
* PROF. DR. SIDEK BABA ialah pensyarah di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Gombak, Kuala Lumpur.


Tawuran Remaja VS Kenakalan Remaja

Dalam sebuah diskusi panel dilayar kaca baru lalu, para pakar sepakat untuk menambahkan mata pelajaran pelajaran budi pekerti. Karena musabab tawuran pelajar, atau masalah kenakalan remaja disimpulkan akibat kurangnya ditanamkan masalah ilmu budi pekerti ini. Dikesempatan lain juga sering didengar usulan untuk menambah ajaran nilai moral dan agama, sebagai jalan keluar. Pendek kata kesimpulannya dianggap generasi muda saat ini, kurang mengenal budi pekerti dan nilai moral keagamaan yang rendah.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pakar maupun rohaniwan, yang telah berbicara tentang ini, mungkin perlu perspektif lain dalam melihat kasus seperti ini. Para pakar baik rohaniwan, tidaklah disangsikan dalam keilmuannya, ini dapat dilihat dari deretan titel ataupun isi pembicaraan nya. Malah bisa jadi diusia remaja, mereka mereka ini mungkin termasuk dalam golongan remaja alim dan baik. Hanya saja, ini pula yang terlihat dalam pemikiran mereka, kenakalan remaja dilihat secara kacamata hitam dan putih. Mereka menginginkan profil remaja yang 'baik rupa', agamis dan ideal. Wow, indah sekali :(

Berbicara masalah remaja, mungkin perlu kacamata dari sudut remaja itu sendiri, bukan dari obsesi para orang dewasa tentang dunia yang putih. Ibarat dalam kelas matematika bila ada dua anak yang tidak lulus, berarti anak itu memang salah tidak belajar. Tetapi bila lebih dari setengah kelas yang tidak lulus, hal ini menjadi berbeda. Perlu disimak kembali kwalitas sang guru, mata pelajarannya atau sarana pendukungnya. Dalam kenakalan remaja saat ini, terjadi hal yang sama. Kita perlu melihat kepada pola lingkungan masyarakat, budaya prilaku menyeluruh yang tercermin dalam kehidupan sehari hari. Kita perlu menyadari sumber bibit penyakit, bukan sekedar lari kembali kepada Tuhan belaka.

Bibit lebih dipengaruhi oleh dua faktor eksternal utama yakni gaung kemunafikan 'kenakalan orang tua' dan kwalitas dari sarana pendidikan , termasuk kwalitas si pendidik itu sendiri. Gaung kemunafikan yang bersumber dari kultur, mulai dari budaya paternalistik hingga ke politisasi agama, sebenarnya justru faktor yang perlu disimak. Kemunafikan tumbuh subur didalam masyarakat yang tengah sakit.

Masyarakat sakit, adalah masyarakat yang belum mampu menemukan eksistensi dirinya. Kita baru mampu diambang nostalgia masa masa silam. Tanpa pernah sadar, bahwa Sukarno, Hatta, Sjahrir, sebenarnya berfikir dan menulis diusia 20/30-an bukan 40-an keatas.. Mereka contoh bahwa hati remaja, sebenarnya lebih dekat kepada kejujuran. Pada zaman mereka pasti banyak orang diusia 40-an keatas yang ndablek, sama seperti hari ini. Hari ini banyak para orang 'dewasa' hanya mampu mengkritik mahasiswa atau pelajar, tanpa berani memberikan solusi yang orisinil, kecuali hidup dalam angan angan utopia dan sliweran alur pemahaman belaka.

Padahal banyak bukti sudah, bahwa kita si dewasa ternyata sebagian besar adalah opportunis, takut melawan arus hanya ingin mencari selamat diri masing masing. Pintar berkata, berbeda dalam perbuatan. Kenakalan remaja harus dilihat sebagai berontaknya alam bawah sadar remaja terhadap kemunafikan lingkungan. Jadi yang harus diberi pelajaran tambahan budi pekerti, tampaknya justru kita yang menamakan diri 'dewasa'.

Bila masyarakat kini brutal, itu tak lain adalah akumulasi menahun atas kemunafikan para pemimpinnya. Bila remaja kini brutal, itupun adalah akumulasi sikap atas kemunafikan kita para orang tua, pendidik dan lingkungan. Ini teori sebab akibat yang sederhana sebenarnya.[bersambung..]