Minggu, 30 Maret 2008

Menelusuri Kecemasan pada Remaja

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja, bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?

Period of storm and stress

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)

Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).

Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.

Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, “Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.

Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)

Empat model kognitif bagi kecemasan remaja

Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan. Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam Laugesen,2003) berikut;

“Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal thoughts related to possible threatening outcomes and their potential consequences.”

Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi) terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3) orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.

Pemahaman tiap variabel tersebut;

(1) intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan perilaku;

(2) sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi ketakutan dan kegelisahan;

(3) orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah, menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul;

(4) penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a) proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b) strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.

Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.

Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?

Siapa Anda? Siapa saya?

Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.

Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.

Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, misalnya “Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik.” Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, seperti, “Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras kepala,” biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari pandangan dirinya sendiri seperti “…padahal saya hanya mempertahankan pendapat saya saja.” Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan lingkungan terhadap diri, seperti “…memang saya merasa susah menerima perbedaan sih..” Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.

Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.

Budaya & Perkembangan Budaya

Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia, di mana individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?

Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept, self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di Indonesia.

_________________________

Referensi:

Baron, Robert A, & Byrne, Donn (2000) Social psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon.

Brown, Ulysses J. (2005) College students and AIDS awareness: the effects of condom perception and self-efficacy. College Student Journal, March 2005.

Laugesen, Nina (2003) Understanding adolescent worry: the application of a cognitive model. Journal of Abnormal Child Psychology, Feb.2003

Perkins, daniel F. (2000) Resiliency and trhiving in family and youth. Vol.1.No.1,March 2000

Rogers,Carl (2001) Gale encyclopedia of psychology, 2nd ed. Gale Group,2001.

Bagaimana menjadi Percaya Diri

Gabungan 3M

Dalam bahasa gaul harian, pede yang kita maksudkan adalah percaya diri. Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini. Ada orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum pede dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan bahwa yang terakhir itu normal dalam arti dialami oleh semua manusia.

Sebenarnya apa sih yang kita maksudkan dengan istilah pede itu? Kalau melihat ke literatur ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin menyebutkan empat saja:

§ Self-concept: bagaimana Anda menyimpulkan diri anda secara keseluruhan, bagaimana Anda melihat potret diri Anda secara keseluruhan, bagaimana Anda mengkonsepsikan diri anda secara keseluruhan.

§ Self-esteem: sejauh mana Anda punya perasaan positif terhadap diri Anda, sejauhmana Anda punya sesuatu yang Anda rasakan bernilai atau berharga dari diri Anda, sejauh mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam diri Anda

§ Self efficacy: sejauh mana Anda punya keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauhmana Anda meyakini kapasitas anda di bidang anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang disebut dengan specific self-efficacy.

§ Self-confidence: sejauhmana Anda punya keyakinan terhadap penilaian Anda atas kemampuan Anda dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Self confidence itu adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy (James Neill, 2005)

Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan-diri itu adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai berikut :

§ Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh

§ Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)

§ Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan

§ Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah

§ Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)

§ Canggung dalam menghadapi orang

§ Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan

§ Sering memiliki harapan yang tidak realistis

§ Terlalu perfeksionis

§ Terlalu sensitif (perasa)

Sebaliknya, orang yang kepercayaan diri bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, punya keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang punya kepercayaan diri bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungannya.

Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang paling mendasar dalam praktek hidup kita. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: “Apa yang Anda butuhkan untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri. “

Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Ini seperti yang diakui Mohammad Ali. “Satu-satunya yang membuat orang lari dari tantangan adalah lemahnya kepercayaan diri.”

Kesimpulan Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy yang bagus punya kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.

Tak hanya Bandura yang kesimpulan semacam itu. Pakar pendidikan juga punya kesimpulan yang bernada sama. Self-efficacy yang bagus akan menjadi penentu keberhasilan seseorang (pelajar) dalam menjalankan tugas. Mereka lebih punya kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan yang kuat untuk bekerja giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, The Development of Achievement Motivation, San Diego: Academic Press, 2002.).

Sisi-sisi Negatif

Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya terkait dengan dua hal yang sudah kita bahas di muka. Hanya memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak. Di antara sisi negatif itu adalah:

§ Arogansi. Kita merendahkan orang lain (looking down atau humiliate) karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Arogansi seperti ini ditolak oleh semua tatanan nilai di dunia ini. Sah-sah saja kita merasa lebih dari orang lain tetapi yang paling penting di sini adalah jangan sampai kita memandang rendah orang lain, apalagi menghina baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

§ Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain. Terkadang memang ada alasan untuk merasa benar tetapi yang perlu kita waspadai adalah munculnya perasaan paling benar yang membuat kita menyimpulkan orang lain semua salah. Biarpun kita benar tetapi kalau kita merasa semua orang lain salah, ini bisa membuat kita salah.

§ Menolak opini orang lain / tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, saran orang lain, tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tetapi juga tidak semuanya perlu ditolak. Ada hal-hal positif yang bisa kita ambil dari opini orang lain. Konon, salah satu faktor yang membuat para pengusaha ambruk setelah mengalami kejayaan adalah karena menolak mendengarkan opini orang lain, menolak belajar dari orang lain, bersikap fleksibel terhadap perubahan. Mereka menjadi orang yang tertutup oleh pengalaman kejayaannya selama ini.

§ Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang “sincere”, di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang lain akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi yang empatik, asertif atau persuasif.

§ Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan dalam mengatasi masalah atau berpikir “beyond the technique” itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu membahayakan.

§ Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Tidak mudah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas kemampuannya sebelum ada bukti-bukti yang nyata, memang ini dibutuhkan. Ada kalanya kita tidak bisa 100% mempercayai orang lain. Tetapi akan jadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu ingin menjadi “polisi” atas orang lain dan semisalnya, ini bisa menyusahkan diri sendiri.

§ Punya penilaian-diri yang “over”, mematok imbalan yang terlalu tinggi, menuntut diperlakukan secara terlalu idealis. Sah-sah saja kita punya penilaian diri yang setinggi langit sekali pun, mematok “harga” setinggi-tingginya, namun jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel. Jangan sampai kita patah gara-gara kita terlalu keras. Jangan sampai pula kita tidak bisa membedakan antara tahu diri dan tidak tahu diri dalam praktek. Bedanya sangat tipis.

Sisi-sisi negatif yang saya sebutkan di atas mungkin bisa kita sebut dengan istilah “terlalu pede”. Ini juga berbeda dengan pede. Menurut kaidah yang berlaku dalam praktek hidup, sesuatu yang sudah terlalu, itu biasanya jelek dan dipandang jelek.

Membangun Kepercayaan diri

Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

1. Menciptakan definisi diri positif.

Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:

o Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.

o Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki

o Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.

Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

2. Memperjuangkan keinginan yang positif

Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

3. Mengatasi masalah secara positif

Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

4. Memiliki dasar keputusan yang positif.

Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

5. Memiliki model / teladan yang positif

Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.


Tidak ada komentar: